Rabu, 16 Mei 2018

Inilah Satgultor 81 Pasukan Siluman Kopassus yang Akan Diterjunkan Menumpas Teroris



Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, berdasarkan perintah Presiden itu, Polri akan dibantu satuan TNI demi memberantas terorisme.

Menurut Moeldoko, Satuan TNI yang dikerahkan tergantung dari kebutuhan Polri.

"Bisa nanti pengerahan Badan Intelijen Strategis untuk membantu intelijen dari kepolisian. Bahkan secara represif bisa menggunakan Satuan Gultor (Satuan 81) telah disiapkan," kata Moeldoko di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, Senin (14/5/2018).



Moeldoko menerangkan, tidak akan terjadi tumpang tindih kewenangan antara Polri dan TNI.

Menurutnya, TNI tetap berada di belakang Polri untuk memperkuat penanganan terorisme.

"Justru yang tetap yang di depan adalah kepolisian, TNI memberi perkuatan. Dikolaborasikan dalam menangani sebuah persoalan yang sama. Intinya di situ," jelas Moeldoko.


Tentang Satuan Gultor (Satuan 81)

Pasukan Satgultor 81 adalah pasukan siluman Kopassus TNI. Satuan ini dibentuk oleh Luhut Panjaitan dan Prabowo pada tahun 1981.

Salah satu contoh dalam mengatasi teror bom di Sarinah Thamrin (Jakarta Pusat), pertengahan Januari 2016 lalu, publik bertanya-tanya, mengapa pasukan anti-teror Kopassus tidak tampak di lokasi?

Pertanyaan yang sama juga muncul dalam pelaksanaan Operasi Tinombala, sebuah operasi pengejaran kelompok teroris pimpinan Santoso di Poso (Sulawesi Tengah).

Pertanyaan publik ini justru menjadi pertanda bahwa satuan anti-teror Kopassus demikian populer di mata masyarakat, dengan begitu sangat diharapkan kehadirannya, di tengah ancaman teror yang seolah tiada henti ini.

Perlu ada klarifikasi soal peran dan fungsi satuan anti-teror Kopassus ini, yang nama resminya Satuan Penanggulangan Teror 81 (Satgultor 81) Kopassus.

Kata kunci Satgultor 81 adalah strategis terpilih, artinya yang menjadi sasaran penindakan Satgultor 81 adalah obyek atau kasus yang masuk kategori strategis terpilih.

Saat peristiwa teror bom di Thamrin dan pengejaran kelompok Santoso disebutkan pula tidak masuk kategori strategis terpilih.

Apa yang dimaksud sebagai strategis terpilih?

Bisa dijelaskan dengan merujuk pada operasi atau simulasi yang pernah dilakukan Satgultor, seperti pembajakan pesawat terbang (ingat Operasi Woyla), pembebasan sandera pada obyek vital (kedutaan besar misalnya), pembajakan di gedung tinggi, dan seterusnya.


Kualifikasi personel Satgultor 81 secara umum lebih tinggi dari satuan sejenis (primus inter pares), dan paling lama didirikan (tahun 1981).

Oleh karenanya personel Satgultor baru diturunkan, bila ancaman itu bersifat kompleks dengan skala kesulitan terbilang tinggi.

Dan satu lagi yang harus diingat, palagan yang disediakan bagi Satgultor ada pada ruang yang terbatas (seperti pesawat terbang dan gedung), dan biasanya di perkotaan, bukan pertempuran konvensional di dataran luas atau rimba raya.

Itu sebabnya model operasi penindakan dari Satgultor 81 (juga satuan anti-teror lainnya), memiliki istilah teknis Pertempuran Jarak Dekat (PJD, Close Quarters Battle)

Apa yang kita lihat dalam Operasi Tinombala, itu sudah lebih dari sekedar operasi anti-teror, sehingga kurang tepat pula bila personel Satgultor diturunkan. Operasi di Poso lebih tepat disebut sebagai operasi lawan gerilya (counter insurgency), dilihat dari segi jumlah personel yang diturunkan dan lamanya waktu operasi.

Satgultor dilatih untuk bergerak dalam unit kecil, dengan durasi sangat cepat, bukan lagi dalam hitungan jam, tapi menit.

Sementara operasi di Poso, jumlah personelnya yang diturunkan mencapai ribuan, palagannya luas dan berbulan-bulan di lokasi.

Satuan seperti Densus 88 atau Brimob Polri masih bisa melaksanakan operasi lawan gerilya, karena jumlah personelnya relatif besar, di mana setiap Polda memiliki satuan Densus 88.

Terlebih Brimob, yang salah satu tugas pokoknya memang operasi lawan gerilya. Sementara “karakter” Satgultor bukan untuk operasi semacam itu.

Bila Kopassus pada akhirnya mendapat tugas operasi lawan gerilya, bukan Satgultor 81 yang dikirimkan, namun satuan lainnya seperti Grup 1 dan Grup 2 (kualifikasi para komando), atau Grup 3 (Sandi Yudha, operasi senyap).

Mutlak diperlukan sinergi
Bagi negeri kita, begitu krusialnya ancaman teroris atau teror itu, satuan anti-teror juga dikembangkan di angkatan lain.

Seperti Detasemen Jala Mangkara (Denjaka Korps Marinir), Komando Pasukan Katak TNI-AL, Detasemen Bravo 90 Paskhas TNI-AU, Satuan Gegana (Brimob Polri), dan Densus 88 (Polri).

Beberapa perwira yang pernah bertugas lama di satuan anti-teror sependapat, dalam mengukur tingkat keandalan sebuah satuan anti teror, jangan dilihat satuan itu berada di bawah marinir, polisi atau tentara.

Namun dilihat bagaimana intensitas pelatihannya, perencanaan, peralatan, rasa percaya diri, dan responsif saat eksekusi di lapangan.

Oleh karenanya mutlak adanya sinergi antar satuan anti-teror, baik di bawah TNI atau Polri.

Arti penting sinergi dan koordinasi antar satuan kini semakin terasa, mengingat adanya “metamorfosa” dalam aksi teror: dari teroris (sekelompok manusia) menjadi ledakan bom (benda).

Menganal Sebagaimana diketahui unit anti-teror di negeri kita, umumnya dilatih untuk menghadapi aksi teror sekelompok orang, seperti pembajakan pesawat terbang atau penyanderaan di gedung bertingkat.

Bila yang dihadapi adalah bom (termasuk bom bunuh diri), perlu ada metode dan kurikulum pelatihan tersendiri.


Mengulik kedekatan Luhut Panjaitan dan Prabowo di Satgultor 81

Luhut Panjaitan yang lulusan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) 1970 masuk ke Kopassus sejak 1971.

Sementara Prabowo yang lulusan Akabari 1974 baru masuk Kopassus pada 1976.

Luhut dan Prabowo sama-masa memulai karier di Korps Baret Merah alias Kopassus sebagai Komandan Peleton Para Komando.

Saat itu Kopassus masih bernama Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha). Keduanya juga sama-sama pernah dikirim bertugas ke Timor-Timur.

Zaman Prabowo-Luhut ini masih muda, terorisme ala Black September berjaya di Eropa.

Pembajakan pesawat terbang sering jadi aksi utama para teroris. Kasus pembajakan pesawat pun harus dialami oleh Indonesia.

Pesawat Garuda dibajak dan digiring ke Don Muang, Thailand, pada 1981.

Meski memakan korban, baik di pihak pembajak dan Kopassus, operasi pembebasan sandera dianggap sukses oleh Menteri Pertahanan Keamanan (Menhankam) merangkap Panglima ABRI yang dijabat M Jusuf.

Kala itu, Sintong Panjaitan sendiri yang memimpin operasi pembebasan sandera .

Demi mengantisipasi pembajakan lagi, maka beberapa personil Kopassus dikirim ke Jerman. Untuk belajar pada Polisi Elit Jerman Barat, Grenzschutzgrupppe 9 (GSG-9).

Luhut sebagai abang, dan Prabowo senagai adik pun dikirim belajar ke Jerman soal operasi khusus kontra terorisme 1981.

Keduanya menjadi pendiri dan pemimpin Detasemen 81/Anti Teror. Si abang menjadi komandan, dan si adik jadi wakilnya.

Sudah jadi hal umum di kalangan militer Indonesia semua senior (apalagi jika usianya pun lebih tua) dipanggil: abang.

Bagi Prabowo, Luhut adalah abang.  Tak hanya di kalangan militer, di organisasi sipil yang terpengaruh militer, ada doktrin tak tertulis, senior selalu benar. Adik harus turut dan hormat pada abang.

Bahkan ada cerita miring soal adik angkatan, harus rela melepaskan pacarnya jika abang yang senior naksir pacarnya adik angkatan.

Sintong Panjaitan lebih senior lagi dari Prabowo dan juga Luhut.

Sebagai abang, Sintong punya cerita soal relasi abang-adik itu.

Cerita Sintong tentang Prabowo-Luhut itu terekam dalam biografi Abang Sintong, Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009).

Peristiwanya terjadi pada suatu hari di bulan Maret 1983. Ketika itu Sidang Umum MPR sedang berlangsung.

Luhut, yang masih berpangkat Mayor, dikejutkan oleh laporan dari bawahannya soal pasukan Detasemen 81/Anti Teror yang dipimpinnya malah sedang bersiaga.

Sebagai Abang, Luhut bertanya kepada bawahannya: “Mengapa bersiaga?”

Bawahannya itu menjawab itu atas perintah Kapten Prabowo, sang adik, alias wakilnya.

Rupanya, menurut bang Sintong, sedang disiapkan sebuah plot penculikan terhadap Letnan Jenderal L.B. Moerdani, Letnan Jenderal Sudharmono, dan Marsekal Madya Ginandjar Kartasasmita.

Abang Luhut pun heran. Ada angin apa sang adik tiba-tiba berencana menculik Moerdani, yang ketika itu menjadi Asisten Intelejen Hankam? Padahal dua hari sebelumnya, sang adik mengajak Abang Luhut untuk mendukung Moerdani menjadi Menhankam/Panglima ABRI.

Bang Luhut lalu memanggil si adik ke kantor. Namun mereka malah bicara di luar. “Ada apa, Wo?” tanya bang Luhut.

“Ini bahaya, Bang. Seluruh ruangan kita sudah disadap. Pak Benny (Moerdani) mau melakukan coup d'etat,” jelas sang adik, Prabowo untuk meyakinkan bang Luhut.

Namun si abang membantahnya. Bagi Luhut, Benny Moerdani tak mungkin melakukan kudeta. Sampai akhirnya Prabowo pun mengatakan sesuatu kepada Luhut: “Bang, nasib negara ini ditentukan oleh seorang Kapten dan seorang Mayor.”

Sintong menafsirkan kalimat Prabowo yang diucapkan dengan bangga itu sebagai permintaan dukungan dari Abang Luhut, sebagai pelindung dan dirinya sebagai pemain utama.

Abang Luhut tak termakan dengan isu kudeta dan tak mau bertindak tanpa perintah atasannya.

Luhut akhirnya mengamankan semua senjata anak buahnya di markas detasemen.

Luhut melapor kepada Sintong Pandjaitan soal ini.  Selidik punya selidik, berdasar pengakuan perwira yang terlibat dalam plot operasi, sasaran penculikan nantinya akan dibawa ke Cijantung untuk dihadapkan pada Soeharto.

Karena Abang Luhut tak memberi restu, gerakan sang adik akhirnya batal. Beruntunglah tak ada pemecatan untuk sang adik kala itu.

Belakangan Prabowo dipindahkan ke Kostrad. Di sana ia menjadi Komandan Batalyon Infanteri Raider 328.

Tapi tak lama di sana, Prabowo kemudian kembali masuk ke Kopassus dan mencapai puncak kariernya sebagai Danjen Kopassus.

Begitulah romantisme Abang Luhut dan yuniornya, Adik Prabowo Subianto, yang sangat energik dan dinamis dalam berpolitik. Meski keduanya sudah tak lagi berdinas militer, jumlah bintang di baret merah tetaplah harus dihormati.  Luhut, seperti juga Hendropriyono, punya empat dan Prabowo hanya tiga.

Apa pun itu, Luhur sendiri tidak menyanggah hubungan pribadi antara dirinya dengan Prabowo, yang tidak jarang diselingi perbedaan pendapat.

Melalui laman resminya di Facebook, Luhut pernah menulis: "Saya kenal Pak Prabowo sejak dari pangkat Letnan. Sudah lebih dari 30 tahun kami berteman, walaupun kadang kami berbeda pendapat. Tapi kalau kami sudah bicara tentang NKRI, kami jadi sepakat, kami jadi satu dan kokoh. Kami tidak mau ditawar soal itu."

0 komentar:

Posting Komentar

 
close